KAOS NASEHAT :
Kata “nasehat” berasal dari bahasa arab, dari kata kerja “Nashaha” yang
berarti “khalasha”, yaitu murni serta bersih dari segala kotoran, juga
bisa berarti “Khaatha”, yaitu menjahit. [1]
Imam
Ibnu Rajab rahimahullah menukil ucapan Imam Khaththabi rahimahullah,
“Nasehat itu adalah suatu kata untuk menerangkan satu pengertian, yaitu
keinginan kebaikan bagi yang dinasehati.”[2]
Imam
Khaththabi rahimahullah menjelaskan arti kata “nashaha” sebagaimana
dinukil oleh Imam Nawawi rahimahullah, “Dikatakan bahwa “nashaha”
diambil dari “nashahtu al-‘asla”, apabila saya menyaring madu agar
terpisah dari lilinnya sehingga menjadi murni dan bersih, mereka
mengumpamakan pemilihan kata-kata agar tidak berbuat kesalahan dengan
penyaringan madu agar tidak bercampur dengan lilinnya.
Dan
dikatakan kata “nasehat” berasal dari “nashaha ar-rajulu tsaubahu”
(orang itu menjahit pakaiannya), apabila dia menjahitnya, maka mereka
mengumpamakan perbuatan penasehat yang selalu menginginkan kebaikan
orang yang dinasehatinya dengan jalan memperbaiki pakaiannya yang
robek.”[3]
Arti
ucapan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam “Dien itu adalah nasehat”
adalah bahwa nasehat itu merupakan tiang serta tonggak dari dien ini
sebagaimana sabda beliau, “Haji itu adalah Arafah,” [4]
maksudnya wuquf di Arafah merupakan tiang serta rukun dari ibadah haji. sablonkaos
Al-Imam
Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullah (wafat tahun 394H) berkata
dalam kitabnya Ta’dzimu Qadri As-Shalat mengenai arti nasehat kepada
Allah.
“Sebagian
ahli ilmu berkata: Penjelasan arti nasehat secara lengkap adalah
perhatian hati terhadap yang dinasehati siapa pun dia, dan nasehat
tersebut hukumnya ada dua, yang pertama wajib dan yang kedua sunnah.
Maka nasehat yang wajib kepada Allah, yaitu perhatian yang sangat dari
penasehat dengan cara mengikuti apa-apa yang Allah cintai, berupa
pelaksanaan kewajiban dan dengan menjauhi apa-apa yang Allah haramkan.
Sedangkan nasehat yang sunnah adalah dengan mendahulukan perbuatan yang
dicintai Allah dari pada perbuatan yang dicintai oleh dirinya sendiri,
yang demikian itu dalam dua perkara yang berbenturan. Yang pertama untuk
kepentingan dirinya sendiri dan yang lain untuk Rabbnya, maka dia
memulai mengerjakan sesuatu untuk Rabbnya terlebih dahulu dan
mengakhirkan apa-apa yang untuk dirinya sendiri, maka ini adalah
penjelasan nasehat kepada Allah secara global, baik yang wajib maupun
yang sunnah. Adapun perinciannya akan kami sebutkan sebagiannya agar
bisa dipahami dengan lebih jelas. Maka nasehat yang wajib kepada Allah
adalah menjauhi laranganNya, dan melaksanakan perintahNya dengan seluruh
anggota badannya apa-apa yang mampu ia lakukan, apabila ia tidak mampu
melaksanakan kewajibannya karena suatu alasan tertentu seperti sakit
atau terhalang dengan sesuatu atau sebab-sebab lainnya, maka ia tetap
berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban tersebut
apabila penghalang tadi telah hilang.
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
“Tiada
dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas
orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa
yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka menasehati kepada Allah dan
RasulNya (cinta kepada Allah dan RasulNya). Tidak ada jalan sedikit pun
untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [At-Taubah : 91]
Maka
Allah menamakan mereka sebagai “Al-Muhsinin” (orang-orang yang berbuat
baik) karena perbuatan mereka, berupa nasehat kepada Allah dengan
hati-hati mereka yang ikhlas, ketika mereka terhalangi untuk berjihad
dengan jiwa raganya, dan dalam kondisi tertentu mungkin bagi seorang
hamba dibolehkan meninggalkan amalan-amalan, tetapi tidak dibolehkan
meninggalkan nasehat kepada Allah, seperti orang yang sakit yang tidak
bisa menggerakkan badannya dan tidak dapat berbicara, tetapi akalnya
masih sehat, maka belum hilang kewajiban nasehat kepada Allah dengan
hatinya, disertai dengan penyesalan akan dosa-dosanya, dan berniat
dengan sungguh-sungguh apabila sehat untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepadanya, dan
meninggalkan apa-apa yang Allah larang untuk mengerjakannya, kalau tidak
(yaitu tidak ada amalan hati, berupa cinta, takut, dan harap kepada
Allah dan niat untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan
laranganNya), maka ia tidak disebut telah menasehati kepada Allah dengan
hatinya. Dan termasuk nasehat kepada Allah adalah taat kepada Rasul Nya
shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hal yang beliau wajibkan kepada
manusia berdasarkan perintah Rabbnya, dan termasuk nasehat yang wajib
kepada Allah adalah dengan membenci dan tidak ridha terhadap maksiat
orang yang berbuat maksiat dan cinta kepada ketaatan orang yang taat
kepada Allah dan RasulNya.
Sedangkan
nasehat yang sunnah, bukan yang wajib, adalah dengan berjuang sekuat
tenaga untuk lebih mengutamakan Allah dari setiap yang ia cintai dalam
hati dan seluruh anggota badan sampai-sampai dari dirinya sendiri,
lebih-lebih lagi dari orang lain. Karena seorang penasehat apabila
bersunggguh-sungguh kepada siapa yang dicintainya, dia tidak akan
mementingkan dirinya, bahkan berupaya keras melakukan hal-hal yang
membuat senang dan cinta siapa yang
dicintainya, maka begitu pula penasehat kepada Allah, dan barangsiapa yang melakukan ibadah nafilah untuk Allah tanpa dibarengi dengan kerja keras, maka dia adalah penasehat berdasarkan tingkatan amalnya, tetapi tidak melaksanakan nasehat dengan sebenarnya secara sempurna.” [5]
dicintainya, maka begitu pula penasehat kepada Allah, dan barangsiapa yang melakukan ibadah nafilah untuk Allah tanpa dibarengi dengan kerja keras, maka dia adalah penasehat berdasarkan tingkatan amalnya, tetapi tidak melaksanakan nasehat dengan sebenarnya secara sempurna.” [5]
Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah (wafat tahun 1163 H) berkata.
“(Nasehat)
kepada Allah adalah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada
Tuhannya dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Esa dalam uluhiyahNya,
dan bersih dari noda syirik, tandingan, dan permisalan, serta apa-apa
yang tidak pantas bagiNya.
Dan
Dia itu mempunyai sifat segala kesempurnaan yang sesuai dengan
keagunganNya, dan seorang muslim harus mengagungkanNya dengan
sebesar-besar pengagungan, dan mengamalkan amalan zhahir dan batin yang
Allah cintai dan menjauhi apa-apa yang Allah benci, dan dia cinta kepada
apa-apa yang dicintai oleh Allah dan benci kepada apa-apa yang Allah
benci, dan ia meyakini apa-apa yang Allah jadikan sesuatu itu benar
sebagai suatu kebenaran, dan yang batil itu sebagai suatu kebatilan, dan
hatinya penuh dengan cinta dan rindu kepadaNya, ia bersyukur akan
nikmat-nikmatNya, dan sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridha
dengan qadlaNya.”[6]
Imam
Nawawi dan Ibnu Rajab rahimahumallah menyebutkan bahwa termasuk nasehat
kepada Allah adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur
kepadaNya dan berda’wah mengajak manusia kejalan Allah.[7]
Imam Al-Khaththabi rahimahullah berkata.
“Hakikat
kata ‘kepada Allah’ sesungguhnya kembali kepada hamba itu sendiri dalam
nasehatnya kepada diri sendiri, karena Allah Ta’ala tidak butuh akan
nasehatnya penasehat.”[8]
hubungi : 082123240590 jasa sablon kaos
[Disalin
dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan
Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO
BOX 7819 CC JKTM]
________
Foot Note.
[1]. Lihat Lisanul Arab, juz 14, bagian kata “Nashaha”
[2]. Jami’ul Ulum wal Hikam, Juz 1 hal. 219
[3]. Syarah Shahih Muslim, Juz 2, hal. 33
[4]. Lihat Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33 dan Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah, oleh Ibnu Daqiq Al-‘Ied hal. 32
[5]. Ta’dzimu Qadri As-Shalat, Juz 2, hal. 691-692
[6]. Dalam kitabnya Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah, hal. 47-48
[7]. Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, Juz 1 hal.222, dan Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33
[8]. Lihat Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33
Oleh
Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz
________
Foot Note.
[1]. Lihat Lisanul Arab, juz 14, bagian kata “Nashaha”
[2]. Jami’ul Ulum wal Hikam, Juz 1 hal. 219
[3]. Syarah Shahih Muslim, Juz 2, hal. 33
[4]. Lihat Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33 dan Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah, oleh Ibnu Daqiq Al-‘Ied hal. 32
[5]. Ta’dzimu Qadri As-Shalat, Juz 2, hal. 691-692
[6]. Dalam kitabnya Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah, hal. 47-48
[7]. Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, Juz 1 hal.222, dan Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33
[8]. Lihat Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33
Oleh
Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz
No comments:
Post a Comment